Akan dicabutnya peraturan karantina Covid-19 di Tiongkok membawa sentimen positif bagi pasar saham global, angin segar bagi investor.
Akan dibukanya kembali pembatasan di negeri Tirai Bambu tersebut akan memungkinkan datangnya wisatawan dari luar negeri, sehingga jalur perekonomian Tiongkok digadang akan kembali pulih.
Pasar Saham Bergerak Naik
Berdasarkan laporan Reuters, pasar saham global mulai bergerak hijau, seperti indeks saham Asia-Pasifik non-Jepang yang naik 0,6 persen hari ini.
Menyusul indeks Asia, indeks STOXX 600 pan-Eropa juga bergerak naik 0,5 persen hari ini. Namun, ini masih sebuah pergerakan kecil untuk pulih dari keruntuhan pasar saham Eropa yang jatuh 12 persen di tahun ini karena hantaman kebijakan moneter bank sentral Eropa (ECB).
Laporan dari Tiongkok hadir setelah pasar saham AS melewati libur hari Natal, membawa kenaikan pada saham berjangka AS dan indeks S&P500 sebesar 0,7 persen hari ini untuk memulai perdagangan di pekan terakhir tahun 2022.
Selain indeks saham di atas, pasar di London, Australia, Dublin dan Hong Kong masih tutup, sehingga tidak turut meramaikan kenaikan ringan di awal pekan ini.
Pasar komoditas pun turut terkerek naik oleh sentimen ini, terutama pasar minyak mentah global.
Sementara itu, pasar obligasi global bergerak variatif, namun cenderung positif, mengikuti dampak dari akan dibukanya peraturan karantina Tiongkok.
Menurut Kepala Makro di Manajer Investasi Lombard Odier, Florian Lempo, pasar obligasi Eropa belum mencapai puncak. Selain itu, ECB juga masih tertinggal dari The Fed soal kenaikan suku bunga.
Florian pun menilai, secara luas pasar aset berisiko mulai menunjukkan sisi bullish. Ia berpegang pada data harga spread kredit dan pasar derivatif.
Menurutnya, dua data tersebut sering dijadikan acuan untuk penghindaran risiko, di mana itu telah turun sekitar 35 persen. Ia meyakini bahwa inflasi telah, atau setidaknya dalam waktu dekat akan mencapai puncak.
“Apa yang kita lihat hari ini, dengan reli Tiongkok dan harga bullish di komoditas berjangka, ini adalah apa yang dimainkan pada musim panas 2008 dan bagi kita tampaknya seperti momen akhir siklus [bearish],” tambah Florian.
Di sisi lain, analis dari SEB Bank Lara Mohtadi mengatakan bahwa 2022 kemungkinan besar akan menjadi tahunnya pasar saham global terlemah sejak krisis keuangan tahun 2008, mengingat total penurunan yang telah mencapai 20 persen.
“Minggu lalu kami juga melihat kenaikan terbesar dalam imbal hasil 10 tahun AS sejak April dan pada perdagangan Jumat berakhir di 3,75 persen,” tambah Mohtadi.
Selain itu, analis dari Citi Bank telah menandai risiko terbalik dalam sebuah laporan sebelum libur Natal. Laporan ini memperkirakan bahwa suku bunga kebijakan The Fed dapat mencapai 5,25 persen hingga 5,50 persen pada akhir tahun 2023.
Perkiraan tersebut berpegang pada ekspektasi pasar tenaga kerja yang akan terus meningkat di kuartal awal tahun 2023.
Kenaikan tersebut digadang akan membawa tekanan tambahan pada angka upah dan harga layanan non-tempat tinggal. Ini akan membuat The Fed kembali menaikkan suku bunga. [st]